Popular Post

Anime Ao no Exorcist

By : Unknown
SINOPSIS
Okumura Rin, seorang pemuda berusia 15 tahun merupakan anak dari Satan. Namun, ia baru mengetahuinya dengan pasti saat ia dapat melihat iblis dan ayah angkatnya, Fujimoto Shiro terbunuh hanya karena melindungi Rin dari Satan. Rin memiliki seorang kembaran bernama Okumura Yukio yang awalnya tidak mempunyai kemampuan api biru, karena saat masih didalam kandungan, daya tahan tubuhnya terlalu lemah. Makanya, kemampuan iblis itu tidak ada dalam dirinya. 
Oke, Lanjut ! Setelah mengetahui bahwa ayahnya adalah Satan, Rin berusaha untuk menjadi Exorcist agar dapat membunuh Satan. Makanya, ia pun masuk ke akademi Sei Juu-Ji. Setelah masuk ke akademi inilah, Rin memulai petualangan barunya bersama dengan nakamanya. Banyak kejadian yang Rin alami dengan nakamanya di akademi Sei Juu-Ji. Sampai akhirnya, mereka berusaha menutup Gerbang Gehenna raksasa yang berhasil dibuka. Mau tahu bagaimana anime-nya ? Yama akan kasih link downloadnya, ya !

Ao no exorcist episode 1 download disini
Ao no exorcist episode 2 download disini
Ao no exorcist episode 3 download disini
Ao no exorcist episode 4 download disini

METODOLOGI Studi ISLAM "ISlam sebagai pegtehuan Ilmiah

By : Unknown
METODOLOGI Studi ISLAM
ISLAM SEBAGAI PENGTAHUAN ILMIAH

D
I
S
U
S
U
N
Oleh : kelompok 7 (PGMI 03)
1.      MUHAMMAD FIKRI                      ( 14270077)
2.      RAMONA                                           ( 14270096)
3.      REYES PRANANDO                         (14270101)
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Raden Fatah Palembang
2015 – 2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Rasa ingin tahu yang bersifat ilmiah dan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang sistematis merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam peradaban Islam. Hal ini tidak mengherankan karena Islam adalah sebuah agama yang rasional tetapi bukan sebuah agama yang rasionalistis (berpijak pada rasio semata). Agama Islam mengembangkan sebuah kesadaran yang tinggi mengenai kedudukan akal sebagai inti dalam tradisi-tradisi agama dan dalam mempertahankan sikap kritis terhadap ilmu pengetahuan. Islam tak hanya menghargai dan menyuruh belajar tapi juga memberikan metode pengamatan yang rasional. Dengan begitu, Islam tidak hanya menghasilkan “ilmuwan-ilmuwan” besar, tetapi juga sebuah tradisi sains yang menyeluruh -sebuah tradisi yang mengintegrasikan obyektifitas ilmiah di dalam Filsafat Islam.[1]
Aristoteles memulai metafisikanya dengan pernyataan “setiap manusia dari kodratnya ingin tahu”. Pernyataan ini tampak berbenturan dengan generasi sebelumnya, Sokrates, yang menganggap “ia tahu bahwa ia tidak tahu”, sehingga Delphi menginterpretasikan tidak ada manusia yang lebih bijaksana dari pada Sokrates dengan pernyataan: “tidak ada manusia yang mempunyai pengetahuan, tetapi sementara orang lain mengira bahwa mereka mempunyai pengetahuan, Sokrates sendiri yang mengetahui bahwa ia tidak tahu”.
Pandangan Aristoteles tentang keingintahuan manusia dan pandangan Sokrates yang menganggap bahwa ketidaktahuan merupakan kenyataan kodrati manusia, sesungguhnya bukan merupakan pandangan yang secara essensial harus dipertentangkan satu sama lain. Akan tetapi pada prinsipnya dapat ditemukan relasi dari keduanya. Langkah pertama menuju pengetahuan yang dibayangkan Aristoteles sejatinya merupakan kesadaran Socratik bahwa manusia tahu bahwa ia tidak tahu, sehingga ada keinginan untuk tahu dan keinginan tersebut dapat diwujudkan. Titik temu yang dapat ditarik dari keduanya adalah eksistensi pengetahuan sebagai bagian penting yang pasti ada pada diri manusia.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Arti dan Perbedaan antara Pengetahuan, Ilmu, dan Filasafat.
1        Pengetahuan
Istilah pengetahuan, ilmu (sains), dan filsafat pada pembahasan sebelumnya banyak disinggung sebagai bagian dari ruang lingkup pengetahuan itu sendiri. Namun demikian, meskipun ketiganya memiliki persamaan sebagai pengetahuan tetap ditemukan perbedaan-perbedaan mendasar, baik dari segi pengertian, fungsi maupun cara-cara untuk memperolehnya. Untuk melihat perbedaan-perbedaan tersebut lebih jauh, sangat penting terlebih dahulu dipaparkan pengertian dari ketiganya.
Dalam Encyclopedia of Philosophy – sebagaimana dikutip Selamat Ibrahim S. DEA, pengetahuan didefenisikan sebagai kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief). Berdasarkan pengertian ini ia menyimpulkan bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang harus benar, sebab jika tidak benar maka sesuatu itu bukan merupakan pengetahuan melainkan kekeliruan atau kontradiksi. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah setiap pengetahuan harus memiliki kesimpulan yang benar?.
Pada dasarnya pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui manusia, baik pengetahuan tersebut merupakan kesimpulan yang benar maupun pengetahuan dengan kesimpulan yang salah (keliru). Pada bagian terdahulu misalnya, telah dipaparkan perkembangan pengetahuan manusia dari taraf yang paling rendah – bahkan keliru dalam pandangan pengetahuan masyarakat modern – hingga pengetahuan ilmiah yang sangat mendukung kelangsungan hidup umat manusia. Oleh karenanya pengetahuan bisa saja salah, akan tetapi pengetahuan yang hakiki sejatinya merupakan pengetahuan yang benar.
Dalam kajian filsafat, umumnya ada empat kelompok manusia terkait dengan pengetahuan, yaitu: pertama, manusia tahu bahwa ia tahu; kedua, manusia tahu bahwa ia tidak tahu; ketiga, manusia tidak tahu bahwa ia tahu; dan keempat, manusia tidak tahu bahwa ia tidak tahu. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh manusia benar-benar ada ketika ia mengetahui objek yang ingin diketahui.  Pengetahuan biasa umumnya tidak mempersoalkan hal ini, apakah manusia tahu bahwa ia tahu, atau justru tidak tahu bahwa ia tidak tahu.
Menurut epistemologi Islam, pengetahuan adalah sebagai sebuah pohon, sedang berbagai sains itu adalah cabang-cabangnya yang tumbuh dan mengeluarkan dedaunan beserta buah-buahan sesuai dengan sifat pohon itu sendiri. Tapi, karena cabang-cabang sebuah pohon tidak tumbuh terus menerus, maka sebuah disiplin tidak perlu dituntut melampaui batas-batasnya. Menuntut sebuah cabang ilmu pengetahuan tertentu dengan melampaui batas-batasnya akan menjadi sebuah aktivitas yang sia-sia. Bukankah jika sebuah cabang tumbuh terus-menerus, akhirnya ia akan menghancurkan keharmonisan seluruh pohon?
Salah satu di antara artikulasi-artikulasi terbaik mengenai epistemologi ini kita temui dalam Book of knowledge karya Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali (1058-1111). Al Ghazali adalah seorang guru besar di Akademi Nizamiyyah Baghdad[2].  pengetahuan terdiri dari tiga buah kriteria:
a.       Sumber
·         Pengetahuan yang diwahyukan: Pengetahuan ini kita peroleh dari para Nabi dan Rasul, tidak kita peroleh dengan menggunakan akal seperti ilmu hitung, juga tidak dengan percobaan-percobaan seperti obat-obatan atau dengan pendengaran seperti bahasa-
bahasa”. Pengetahuan yang tidak diwahyukan: sumber pokok dari “ilmu-ilmu” ini adalah akal, pengamatan, percobaan, dan akulturasi (penyesuaian).
b.      Kewajiban-Kewajiban
·      Pengetahuan yang diwajibkan kepada setiap orang (fardh al ‘ain): yaitu pengetahuan yang penting sekali untuk keselamatan seseorang, misalnya etika sosial, kesusilaan, dan sebagainya.
·       Pengetahuan yang diwajibkan kepada masyarakat (fardh al kifayah): yaitu pengetahuan yang penting sekali untuk keselamatan seluruh masyarakat. Misalnya pertanian, obat-obatan, arsitektur dan teknik mesin.
c.        Fungsi Sosial
·         Ilmu-Ilmu yang patut dihargai: yaitu ilmu-ilmu (sains) yang berguna dan tak boleh diabaikan “karena segala aktifitas hidup ini tergantung kepadanya…”
·         Ilmu-ilmu yang patut dikutuk: termasuk astrologi, magik, studi ilmiah mengenai cara-cara penyiksaan, dan sebagainya.
Di dalam kerangka di atas, sains dan kemanusiaan tidak berdiri sebagai “dua buah kultur” yang saling terpisah tetapi sebagai dua pilar yang memperoleh rasa solidaritasnya yang vital dari keseluruhan kultur manusia. Jadi, di dalam kerangka ini, pengetahuan itu sekaligus bersifat dinamis dan statis. Terdapat perkembangan setahap-demi setahap dalam bentuk-bentuk ilmu pengetahuan (sains) tertentu, sementara terdapat pula kesadaran akan keabadian pengetahuan prinsipil yang diperoleh dari wahyu itu. Kerangka pengetahuan Islam tak pernah menutup mata terhadap pengetahuan yang diwahyukan itu, pengetahuan yang merupakan “matriks” kerangka bagi semua sains.
2        Ilmu (Sains)
Pengetahuan sebagai pengetahuan yang benar dibicarakan dalam ranah pengetahuan ilmiah (ilmu/sains). Ilmu (sains) adalah pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai kebenaran ilmiah tentang objek tertentu yan diperoleh melalui pendekatan, metode dan sistem tertentu.[3] Jika proses cerapan rasa tahu manusia merupakan pengetahuan secara umum yang tidak mempersoalkan seluk beluk pengetahuan tersebut, ilmu – dengan cara khusus dan sistematis – dalam hal ini mencoba untuk menguji kebenaran pengetahuan tersebut secara lebih luas dan mendalam. Ilmu tidak hanya berbicara tentang hakikat (ontologis) pengetahuan itu sendiri, melainkan juga mempersoalkan tentang bagaimana (epistemologis) pengetahuan tersebut dapat diproses menjadi sebuah pengetahuan yang benar-benar memiliki nilai guna (aksiologis) untuk kehidupan manusia. Oleh karenanya, perkembangan ilmu pengetahuan itu pada dasarnya bersifat dinamis.
Ilmu pengetahuan pada prinsipnya merupakan sebuah tesisyang diuji dengan antitesis sehingga menghasilkan pengetahuan yang baru (sintesis). Hail pengetahuan baru tersebut (sintesis) akan menjadi sebuah tesis yang baru pula sehingga akan diuji kembali dengan antitesis yang baru dan akan melahirkan pengetahuan yang baru (sintesis).[4] Demikian seterusnya, ilmu pengetahuan akan terus berjalan secara dinamis bagaikan “anak tangga” mengikuti pola 1, 2, 3,…dst.
3        Filsafat
Selain pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah (sains) yang telah dipaparkan di atas, filsafat juga merupakan bagian penting yang turut dibicarakan dalam ranah pengetahuan, sebab filsafat merupakan bagian dari pengetahuan itu sendiri. Filsafat memiliki pengertian yang cukup beragam, antara lain:
1.      All learning exclusive of technical precepts and practical arts;
2.      a discipline comprising as it core logic, aesthetic, ethics, metaphysic, and epistemology;
3.      a search for a general understanding of values and reality by chiefly speculative rather than observational means;
4.      an analysis of the ground of and concepts expressing fundamental beliefs;
5.      a theory underlying or regarding a sphere of activity of thought;
6.      the most general beliefs, concepts and attitudes of and individual or group;
7.      calmness of temper and judgment.[5]

Perbedaan akan lebih mudah dilihat dengan membuat tabulasi tentang fungsi dan cara memperoleh pengetahuan berdasarkan tiga jenis pengetahuan tersebut (pengetahuan, sains, dan filsafat) sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut:

Jenis Pengetahuan
Fungsi
Cara Memperolehnya
Pengetahuan Biasa
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa mempersoalkan seluk beluk pengetahuan secara mendalam
Melalui pencernaan indra dan pengalaman secara umum
Ilmu (Sains)
Untuk menguji kebenaran dari pengetahuan manusia secara umum yang berkisar pada pengalaman sehari-hari guna memenuhi kebutuhan hidup manusia
Melalui penalaran dengan metode dan cara-cara tertentu secara objektif dan sistematis
Filsafat
Untuk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan akhir guna menemukan kebenaran yang hakiki
Melalui penalaran yang luas dan mendasar dengan pola berpikir sistematis

Penjelasan di atas menunjukkan perbedaan signifikan pada fungsi dan cara memperoleh pengetahuan dari ketiga jenis pengetahuan yang sedang dibahas. Meskipun pengetahuan secara umum bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia – karena pengetahuan tidak lain merupakan jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul berhubungan denagan persoalan-persoalan hidup, fungsi spesifik dari ketiga jenis pengetahuan di atas tetap mengandung beberapa perbedadan disamping perbedaan cara memperolehnya. Perbedaan yang lain, khususnya yang dapat ditemukan di antara ilmu dan filsafat, adalah bahwa filsafat berupaya mencari hakikat dari segala sesuatu, bukan hanya sekedar relasi kausal atau penjelasan deskriptif saja, sementara ilmu pengetahuan merupakan fragmentaris yang menjadikan suatu bagian tertentu sebagai bidang kajiannya.

B.     Metode Ilmiah dan Stuktur Pengetahuan Ilmiah
a.       Metode Ilmiah
Nazir (1998) menjelaskan, metode ilmiah atau proses ilmiah merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secra sistematis berdasarkan bukti fisis (Ahmad Tanzeh:2009). Ilmuan melakukan observasi serta membentuk hipotesis dalam usahanya untuk menjelaskan fenomena alam. Metode ilmiah boleh dikatakan suatu pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilmiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan yang sistematis.
Menurut Almack (1930)  dalam Ahmad Tanzeh (2009), metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. Sedangkan Ostle berpendapat bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesuatu interelasi.
Kriteria Metode Ilmiah
Metode ilmiah dalam meneliti mempunyai kriteria serta langkah-langkah tertentudalam bekerja, seperti dalam tabel berikut:[6]
Metode Ilmiah
Kriteria
Langkah-langkah
a.        Berdasarkan fakta
b.      Bekas dari prasngka
c.       Menggunakan prinsip-prinsip analisis
d.      Menggunakan hipotesa
e.       Menggunakan ukuran yang objektif
f.       Menggunakan teknik kuantifikasi
a)      Memilih dan mendefinisikan masalah
b)      Survey terhadap data yang tersedia
c)      Mempormulasikan hipotesa
d)     Membangun kerangka analisa
e)      Mengumpulkan data primer
f)       Mengolah, menganalisa serta membuat interpretasi
g)      Membuat generalisasi dan kesimpulan.
h)      Membuat laporan
Diadaptasi  dari Nazir 1988;42
Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai beberapa kriteria, yaitu:[7]
·         Berdasarkan Fakta
Keterangan-keterangan yang ingin diperoleh dalam penelitian, baik yang akan dikumpulkan dan yang akan dianalisa, haruslah berdasarkan fakta-fakta yang nyata. Bukan berdasarkan pada daya khayalan, kira-kira, legenda atau sejenisnya.
·         Bebas dari Prasangka
Metode ilmiah harus bebas dari prasangka, bersih dan jauh dari pertimbangan subyektif. Menggunakan suatu fakta haruslah dengan alasan dan bukti yang lengkap dan dengan pembuktian.yang obyektif.
·         Menggunakan prinsip analisa
Dalam memahami serta memberi arti terhadap fenomena yang kompleks, harus menggunakan prinsip analisa. Semua masalah harus dicari sebab musabab serta pemecahannya dengan mengguanakan analisa yang logis. Fakta yang mendukung tidaklah dibiarkan sebagaimana adanya atau hanya dibuat deskripsinya saja. Tetapi semua kejadian harus dicari sebab akibat dengan menggunakan analisa yang tajam.
·         Menggunakan hipotesa
Dalam metode ilmiah, peneliti harus dituntun dalam proses berpikir dengan menggunakan analisa. Hipotesa harus ada untuk mengonggok-kan persoalan serta memandu jalan pikiran ke arah tujuan yang ingin dicapai sehingga hasil yang ingin diperoleh akan mengenai sasaran dengan tepat. Hipotesa merupakan pegangan yang khas dalam menuntun jalan pikiran peneliti.



·         Menggunakan ukuran obyektif
Kerja penelitian dan analisa harus dinyatakan dengan ukuran yang obyektif. Ukuran tidak boleh dengan merasa-rasa atau menuruti hati nurani. Pertimbangan-pertimbangan harus dibuat secara obyektif dengan menggunakan pikiran yang waras.
·         Menggunakan kuantifikasi
Dalam memperlakukan data ukuran kuantitatif yang lazim digunakan, kecuali untuk atribut-atribut yang tidak dapat dikuatifikasikan. Ukuran-ukuran yang digunakan misalnya ton, mili meter, detik, tak hingga dan sebagaimana. Bukan menggunakan ukuran sejauh mata memandang, sehitam pekat aspal dan sebagainya yang dianggap tidak dapat diukur dengan akal manusia. Kuantifikasi yang mudah adalah dengan menggunakan ukuran nominal, ranking dan rating.

b.      Struktur Pengetahuan Ilmiah
Struktur artinya adalah susunan, dengan menggabungkan struktur bersama pengetahuan. Artinya menjadi susunan pengetahuan dan ditambah lagi dengan kata ilmiah yang berarti harfiahnya adalah susunan pengetahuan yang tertata dengan baik dan sistematis.
C.    Klasifikasi Pengetahuan Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan Humaniora
1.      Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu pengetahuan alam adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena alam. Hubungan agama Islam dengan ilmu pengetahuan dalam bidang alam, Islam bersikap terbuka dan selektif. Dari satu segi Islam terbuka untuk menerima berbagai masukan dari luar, tetapi berssamaan dengan itu Islam juga selektif, yakni tidak begitu saja menerima seluruh jenis ilmu alam yang tidak sejalan dengan Islam. Dalam bidang ilmu dan teknologi, Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk bersikap terbuka. Sekalipun Islam bukan timur dan bukan barat, ini tidak berarti Islam harus menutup diri dari keduanya. Bagaimanapun, Islam adalah sebuah paradigma terbuka. Ia merupakan mata rantai peradaban dunia ilmu dan teknologi. [8]
Hubungan agama Islam dengan ilmu pengetahuan dalam bidang alam, dapat pula dilihat dari lima ayat Surah Al-’Alaq yang diturunkan Allah SWT, kepada Nabi Muhammad SAW di gua Hira, yang artinya: ”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Dialah yang mengajarkan manusia dengan pena, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-’Alaq (96 : 1 – 5 )

2.      Ilmu-ilmu Sosial
Ilmu-ilmu Sosial, yaitu ke ilmu-ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sifat Ilmu-ilmu Sosial itu spesifik karena disertai kajian mendalam. Ilmu-ilmu Sosial merupakan terjemahan dari Social Sciences. Di antara ilmu-ilmu sosial itu ada: (1). Geografi, yang mempelajari kehidupan bersama manusia dalam hubungan atau interaksinya dengan lingkungan alam dan sosial; (2). Ekonomi, yang mempelajari bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka; (3). Sejarah, yang mempelajari tingkah-laku (aktivitas) manusia pada masa lalu; (4) Antropologi, yang mempelajari kehidupan masyarakat tradisional; (5) Sosiologi, yang mempelajari interaksi antarwarga masyarakat; (6) Hukum, yang mempelajari bagaimana kehidupan masyarakat diatur dengan undang-undang; (7) Politik, yang mempelajari bagaimana penyelenggaraan negara dilaksanakan supaya tujuan bernegara dapat dicapai.[9]

3.      Ilmu Humaniora
Ilmu-ilmu Humaniora adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya. Contoh: Teologi, filsafat, hukum, sejarah, fiologi, bahasa, kesusastraan, dan kesenian.
Humaniora atau Humaniteis adalah bidang-bidang studi yang berusaha menafsirkan makna kehidupan manusia dan berusaha menambah martabat kepada penghidupan dan eksistensi manusia menurut Elwood mendefinisikan “Humaniora” sebagai seperangkat dari perilaku moral manusia terhadap sesamanya, beliau juga mengisyaratkan pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan amung (unique) dalam ekosistem, namun sekaligus juga amat tergantung pada ekosistem itu dan ia sendiri bahkan merupakan bagian bidang-bidang yang termasuk humaniora meliputi agama, filsafat, sejarah, bahasa, sastra, dan lain-lain. Manfaat pendidikan humaniora adalah memberikan pengertian yang lebih mendalam mengenai segi manusiawi.[10]
Ada hubungan sangat erat antara antropologi dan humaniora yang kesemuanya memberikan sumbangan kepada keduanya sebagai kajian umum mengenai manusia. Bagi para humanis, bahan antropologis juga sangat penting. Dalam deskripsi biasa mengenai kebudayaan primitif, ahli etnografi tradisional biasanya merekam sebagai macam mite dan folktale, menguraikan artifak, musik dan bentuk-bentuk karya seni, barangkali juga menjadi subjek analisa bagi para humanis dengan menggunakan alat-alat konseptual mereka sendiri.

D.    Pendekatan Interdisiplin dan Multidisiplin dalam Studi Islam.
            Islam selain sebagai ajaran agama yang khas, juga tampil sebagai sebuah disiplin ilmu, yaitu ilmu keislamam, diantara disiplin ilmu keislaman sebagai sebuah disiplin ilmu, yaitu Al-quran/tafsir, hadis/ilmu hadis, sejarah kebidayaan Islam dan pendidikan Islam.[11]
            Harun Nasution mengatakan bahwa Islam berlainan dengan apa yang umum diketahui. Islam bukan hanya mempunyai satu-dua aspek, tetapi mempunyai berbagai aspek. Islam mempunyai aspek teknologi, aspek ibadah, aspek moral, aspek mitisme, aspek filsafat, aspek sejarah, aspek budaya dan aspek ritual lainnya. Inilah yang selanjutnya membawa kepada timbulnya berbagai jurusan dan fakultas di Institut Agama Islam Negri, STAIN, UIN dan sekolah tinggi yang bernafaskan Islam di tanah air.
            Ajaran Islam secara dominan ditandai oleh pendekatan normatif, historis dan filosofis. Ajaran Islam memiliki ciri-ciri yang secara keseluruhan sangat ideal. Islam agama yang mengajarkan perdamaian, toleransi, terbuka, kebersamaan, kerja keras yang bermutu, adil seimbang antara urusan dunia dan skhirat. Islam harus berharta, memiliki kepekaan terhadap masalah sosial kemasyarakatan. Islam wajib mengutamakan pencegahan dalam bidang kesehatan dengan cara memperhatikan segi kebersihan badan, pakaian, makanan, tempat tinggal dan lingkungan, Islam juga tampil sebagai disiplin ilmu keIslaman dengan berbagai cabangnya.
            Untuk sampai kepada keadaan yang mampu bersentuhan dengan berbagai persoalan aktual berkaitan dengan dimensi kehidupan, manusia memerlukan pendekatan baru yang lebih relevan. Agama tidak cukup dipahami dari suatu pendekatan saja, melainkan harus dipahami dan dianalisis dengan menggunakan berbagai pendekatan yang komperhensif, aktual dan integral. Seseorang yang ingin memahami agama dalam hubungannya dengan berbagai masalah tersebut perlu melengkapi diri dengan ilmu-ilmu bantu seperti filsafat, sejarah, antropologi, sosiologi dan ilmu alam lainnya.
            Ilmu-ilmu keislamam yang selama ini terkesan tertutup, sebenarnya tetap konsis dapat diaktualisasikan dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Mengembangkan ilmu-ilmu keislaman, harus melengkapi diri dengan ilmu bantu dan menguasai teori-teori penelitian lengkap dengan metodenya, baik secara teoritis maupun praktis. Pemahaman agama yang komperhensif, aktual dan integral telah memberikan petunjuk praktis tentang bagaimana ilmu agama itu dipelajari dan diajarkan. Dengan cara ini umat Islam dapat memahami agama yang utuh dan integral. Juga dapat mengembangkan dan merespon berbagai persoalan aktual dalam kehidupan modern.



BAB III
PENUTUP
·         KESIMPULAN
Istilah pengetahuan, ilmu (sains), dan filsafat pada pembahasan sebelumnya banyak disinggung sebagai bagian dari ruang lingkup pengetahuan itu sendiri. Namun demikian, meskipun ketiganya memiliki persamaan sebagai pengetahuan tetap ditemukan perbedaan-perbedaan mendasar, baik dari segi pengertian, fungsi maupun cara-cara untuk memperolehnya. Untuk melihat perbedaan-perbedaan tersebut lebih jauh, sangat penting terlebih dahulu dipaparkan pengertian dari ketiganya.
Pengetahuan sebagai pengetahuan yang benar dibicarakan dalam ranah pengetahuan ilmiah (ilmu/sains). Ilmu (sains) adalah pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai kebenaran ilmiah tentang objek tertentu yan diperoleh melalui pendekatan, metode dan sistem tertentu. Jika proses cerapan rasa tahu manusia merupakan pengetahuan secara umum yang tidak mempersoalkan seluk beluk pengetahuan tersebut, ilmu – dengan cara khusus dan sistematis – dalam hal ini mencoba untuk menguji kebenaran pengetahuan tersebut secara lebih luas dan mendalam. Ilmu tidak hanya berbicara tentang hakikat (ontologis) pengetahuan itu sendiri, melainkan juga mempersoalkan tentang bagaimana (epistemologis) pengetahuan tersebut dapat diproses menjadi sebuah pengetahuan yang benar-benar memiliki nilai guna (aksiologis) untuk kehidupan manusia. Oleh karenanya, perkembangan ilmu pengetahuan itu pada dasarnya bersifat dinamis.
Selain pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah (sains) yang telah dipaparkan di Atas, filsafat juga merupakan bagian penting yang turut dibicarakan dalam ranah pengetahuan, sebab filsafat merupakan bagian dari pengetahuan itu sendiri
                                                                                          


DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, 1962, The Book of Knowledge, yang diterjemahkan oleh Nabih Amin Faris, Asyraf, Lahore.
Gove, Philips Babcock, 1966, et.al. (ed). Webster Third New International Dictionary. Massachussets, USA: G & C Merriam Company Publisher.
Soetriono dan SRDm Hanafie, 2007, Epistemologi dan Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Irwandar . Dekonstruksi Pemikiran Islam, 2003, Idealitas Nilai dan Realitas Empiris. Yogyakarta: Ar-Ruz Media,

au7ia.blogspot.co.id/2012/12/makalah-metode-studi-islam.html



[1] au7ia.blogspot.co.id/2012/12/makalah-metode-studi-islam.html, pada tanggal 16 november 3015 pukul 13.03
[2] Al-Ghazali, The Book of Knowledge, yang diterjemahkan oleh Nabih Amin Faris, Asyraf, Lahore, 1962.
[3] Soetriono dan SRDm Hanafie. Epistemologi dan Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2007.  hlm:19
[4] Irwandar . Dekonstruksi Pemikiran Islam, Idealitas Nilai dan Realitas Empiris. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2003. hlm:48
[5] Philips Babcock Gove, et.al. (ed). Webster Third New International Dictionary. Massachussets, USA: G & C Merriam Company Publisher, 1966. hlm:1698
[8] http://hadifauzan.blogspot.co.id/2012/03/makalah.html, pada tanggal 16 november 2015 pukul 10.05
[9] ibid
[10] ibid
[11] http://hadifauzan.blogspot.co.id/2012/03/makalah.html

- Copyright © Welcome to My Blog - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -